Review mendalam agar tidak salah beli
Dapatkan rekomendasi produk shopee.

Dilema Energi Fosil dan Janji Transisi Hijau

Mei 08, 2025
Dilema Energi Fosil dan Janji Transisi Hijau

Indonesia berdiri di persimpangan jalan: satu sisi terjebak dalam kenyamanan energi fosil, sisi lain menatap masa depan yang lebih hijau dan berkelanjutan. Pemerintah telah menyatakan komitmen menuju transisi energi bersih, tapi fakta di lapangan menunjukkan jalan yang terjal dan penuh kontradiksi. Di balik sorotan proyek energi baru terbarukan, ketergantungan pada batubara dan minyak bumi masih kuat mencengkeram.

Ketergantungan yang Tak Mudah Lepas

Sektor energi Indonesia saat ini masih didominasi oleh bahan bakar fosil. Data dari Kementerian ESDM menunjukkan lebih dari 85 persen energi primer masih berasal dari batubara, minyak, dan gas. Sementara itu, bauran energi baru dan terbarukan (EBT) masih berkisar di bawah 15 persen.

Ironisnya, meskipun pemerintah menargetkan bauran EBT mencapai 23 persen pada 2025, investasi dan insentif untuk sektor ini masih minim dibandingkan dengan subsidi energi fosil. Dalam APBN 2024, subsidi energi mencapai lebih dari Rp300 triliun, sebagian besarnya untuk menjaga harga BBM dan listrik berbasis fosil tetap terjangkau.

Janji Transisi dan Realitas Proyek Energi Kotor

Salah satu sorotan utama adalah proyek-proyek PLTU baru yang tetap berjalan meski pemerintah menyatakan moratorium pembangunan PLTU batubara. Berbagai celah kebijakan memungkinkan proyek yang telah dirancang sebelumnya tetap berlanjut. Bahkan, proyek-proyek strategis nasional (PSN) masih mengandalkan energi batubara karena dianggap lebih murah dan cepat dibandingkan energi terbarukan.

Bahkan, perusahaan energi negara seperti PLN masih memiliki portofolio yang besar di pembangkit batubara. Dalam rencana bisnis penyediaan tenaga listrik (RUPTL), PLN menyebutkan pengembangan EBT sebagai prioritas, namun realisasinya masih tertinggal jauh dari rencana.

Transisi Hijau: Janji atau Ilusi?

Transisi energi menuju sistem yang lebih ramah lingkungan bukan sekadar mengganti sumber energi, tetapi juga menyentuh aspek sosial, ekonomi, dan keadilan iklim. Di sinilah transisi hijau menjadi kompleks dan politis.

Pembangunan proyek EBT di daerah sering kali berhadapan dengan konflik lahan, ketidakpastian regulasi, serta keterbatasan teknologi dan infrastruktur. Sebagai contoh, proyek PLTB (pembangkit listrik tenaga bayu) dan PLTS (pembangkit listrik tenaga surya) kerap menghadapi kendala pembebasan lahan dan interkoneksi jaringan listrik.

Di sisi lain, masyarakat yang menggantungkan hidup dari tambang batubara menghadapi ketidakpastian ekonomi jika transisi dilakukan tanpa kejelasan arah kebijakan transformatif. Inilah yang memunculkan istilah "just transition" atau transisi yang adil — sebuah kerangka kerja yang menekankan pentingnya perlindungan bagi kelompok rentan selama perubahan berlangsung.

Ketimpangan Akses dan Infrastruktur

Selain aspek ekonomi, transisi energi di Indonesia juga terganjal oleh kesenjangan infrastruktur. Wilayah Indonesia bagian timur masih mengalami defisit pasokan listrik, sementara wilayah barat justru mengalami surplus.

Kondisi ini menyulitkan integrasi proyek energi terbarukan yang bersifat terdesentralisasi. Energi surya, air, dan angin, idealnya dikembangkan secara lokal, namun ketiadaan jaringan distribusi yang memadai membuat energi bersih belum kompetitif.

Tidak hanya itu, teknologi penyimpanan energi seperti baterai skala besar masih mahal dan belum tersedia secara luas. Pemerintah memang mendorong pengembangan ekosistem kendaraan listrik dan industri baterai nasional, namun hal ini masih berada pada tahap awal dan butuh waktu panjang.

Peran Swasta dan Masyarakat Sipil

Transisi energi bukanlah beban pemerintah semata. Perusahaan swasta, lembaga keuangan, hingga masyarakat sipil memiliki peran penting dalam mendorong perubahan. Laporan IESR (Institute for Essential Services Reform) menyebutkan bahwa sejumlah perusahaan besar mulai beralih ke energi terbarukan dalam operasional mereka.

Namun, inisiatif ini belum cukup masif untuk menciptakan dampak signifikan. Banyak pelaku industri masih melihat transisi hijau sebagai beban biaya, bukan investasi jangka panjang. Tanpa kebijakan fiskal dan regulasi yang tegas, swasta cenderung memilih status quo.

Sementara itu, gerakan masyarakat sipil terus mendorong transparansi dan akuntabilitas dalam kebijakan energi. Kampanye penghentian proyek PLTU dan advokasi terhadap hak masyarakat terdampak menjadi motor penggerak dari bawah.

Menuju Energi yang Lebih Adil dan Berkelanjutan

Jika Indonesia serius ingin mewujudkan transisi energi, maka diperlukan keberanian politik dan arah kebijakan yang konsisten. Skema insentif harus diarahkan untuk mempercepat penetrasi energi terbarukan, bukan mempertahankan kenyamanan energi kotor.

Pemerintah juga harus menempatkan keadilan sosial dan lingkungan sebagai prinsip utama, bukan sekadar narasi retoris. Transisi energi yang adil berarti memastikan tidak ada kelompok yang dikorbankan demi kepentingan segelintir elit atau demi pertumbuhan semu.

Partisipasi publik harus diperluas, bukan dibatasi. Keputusan besar terkait energi harus melibatkan masyarakat, bukan hanya disusun di ruang-ruang tertutup. Indonesia tidak kekurangan sumber daya alam untuk energi bersih, yang dibutuhkan adalah kemauan politik dan keberpihakan pada masa depan yang lebih sehat dan adil.

Terkait