Lulus kuliah dengan predikat cum laude adalah kebanggaan tersendiri. Nilai Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) yang tinggi seringkali dianggap sebagai indikator keberhasilan akademik. Namun, kenyataannya tidak selalu semanis ijazah yang diterima. Banyak lulusan baru yang justru terjebak dalam kondisi paradoks: memiliki IPK mentereng, namun kesulitan memasuki dunia kerja karena kurangnya pengalaman. Dilema ini menjadi nyata ketika HRD lebih memilih kandidat berpengalaman ketimbang lulusan dengan nilai akademik gemilang.
IPK Tinggi Tak Lagi Jaminan
Beberapa tahun lalu, IPK tinggi bisa menjadi tiket emas menuju karier impian. Kini, situasi mulai bergeser. Dunia kerja semakin dinamis, menuntut lebih dari sekadar kemampuan teoritis. Rekruter tidak lagi terpukau hanya oleh angka IPK, tetapi lebih mempertimbangkan sejauh mana kandidat mampu berpikir kritis, menyelesaikan masalah, dan beradaptasi dengan lingkungan kerja nyata.
"Kami mencari seseorang yang bisa langsung bekerja, bukan yang perlu dilatih dari nol," kata Rani, manajer HR sebuah perusahaan startup teknologi di Jakarta. "IPK tinggi bagus, tapi kalau tidak punya pengalaman organisasi, magang, atau proyek riil, akan sulit bersaing."
Kurikulum Akademik yang Kurang Responsif
Sebagian kalangan menyalahkan sistem pendidikan tinggi yang terlalu berfokus pada aspek kognitif, tetapi kurang membekali mahasiswa dengan soft skill dan pengalaman praktikal. Kurikulum yang kaku dan beban akademik yang tinggi seringkali membuat mahasiswa tidak punya waktu untuk aktif di luar kelas.
"Mahasiswa sibuk mengejar nilai dan tugas, sehingga tidak sempat mencari pengalaman magang," ujar Dita, alumni sebuah perguruan tinggi negeri. Ia mengaku baru mencoba magang saat semester akhir dan merasa itu terlalu terlambat untuk membangun portofolio.
Ekspektasi Pasar Kerja yang Tinggi
Fenomena overqualification juga menjadi tantangan. Lulusan dengan IPK tinggi sering memasang ekspektasi gaji dan posisi yang tinggi pula, namun realita di dunia kerja tak seindah itu. Banyak perusahaan mematok syarat pengalaman minimal, bahkan untuk posisi entry level.
Hal ini menimbulkan ketimpangan: lulusan baru merasa ditolak karena kurang pengalaman, sementara perusahaan merasa tak ingin ambil risiko pada kandidat yang harus "diajari dari nol."
Peran Magang dan Organisasi Mahasiswa
Di tengah kesenjangan ini, pengalaman magang dan keterlibatan dalam organisasi mahasiswa menjadi sangat krusial. Aktivitas tersebut bukan hanya memperkaya CV, tetapi juga menunjukkan bahwa seseorang punya kemampuan bekerja dalam tim, memecahkan masalah, dan menghadapi tekanan.
"Magang saya di perusahaan konsultan sangat membantu. Saya jadi tahu etika kerja, komunikasi profesional, dan cara menghadapi klien," kata Ardi, lulusan S1 Ekonomi yang kini bekerja di perusahaan multinasional.
Organisasi mahasiswa pun melatih kepemimpinan, kemampuan komunikasi, dan manajemen waktu. Semua ini menjadi nilai tambah yang sering lebih diperhatikan rekruter daripada angka IPK semata.
Perlu Sinergi Kampus dan Industri
Mengatasi dilema ini butuh pendekatan sistemik. Kampus perlu lebih aktif membangun jejaring dengan dunia industri dan membuka peluang magang sejak awal perkuliahan. Kolaborasi semacam ini akan membantu mahasiswa mengenal dunia kerja sejak dini.
Beberapa universitas telah memulai langkah ini lewat program "kampus merdeka" yang memungkinkan mahasiswa magang satu semester penuh di perusahaan. Sayangnya, belum semua kampus menerapkannya secara optimal.
Adaptasi Lulusan Baru
Bagi para lulusan baru, menyadari bahwa IPK bukan segalanya adalah langkah awal. Fleksibilitas, kerendahan hati, dan keinginan belajar menjadi kunci untuk bisa menyesuaikan diri dengan realitas dunia kerja.
"Waktu pertama kerja, saya sadar banyak hal yang tidak saya pelajari di kampus. Tapi saya terbuka untuk belajar dan tidak malu bertanya," kata Nadya, karyawan baru di bidang keuangan.
Penutup: IPK Tinggi dan Pengalaman Seharusnya Berjalan Seiring
Tak bisa dimungkiri, IPK tinggi tetap punya peran. Ia menunjukkan kedisiplinan dan kapasitas intelektual. Namun, tanpa dibarengi pengalaman dan keterampilan praktis, lulusan akan kesulitan bersaing.
Solusinya bukan memilih salah satu, melainkan membangun keduanya secara bersamaan. Mahasiswa perlu merencanakan pengembangan diri sejak dini, sementara institusi pendidikan harus lebih adaptif menjembatani dunia akademik dan industri.

