Harga pangan kembali menjadi sorotan publik. Lonjakan harga beras, cabai, hingga daging sapi mengemuka di banyak daerah. Di pasar-pasar tradisional, suara keluhan pedagang dan pembeli tak henti terdengar. Namun di balik kenaikan ini, muncul pertanyaan krusial: siapa sebenarnya yang untung, dan siapa pula yang buntung?
Kenaikan Harga Pangan: Siklus atau Rekayasa?
Kenaikan harga pangan sering dianggap hal biasa saat menjelang musim-musim tertentu: Ramadan, Lebaran, atau menjelang akhir tahun. Namun pola kenaikan yang terus terjadi tanpa penurunan signifikan di luar musim puncak menimbulkan kecurigaan. Apakah ini semata siklus musiman, atau ada rekayasa harga oleh pihak tertentu?
Menurut Badan Pangan Nasional, faktor cuaca ekstrem dan gangguan distribusi menjadi penyebab utama. Namun, sejumlah ekonom dan pengamat kebijakan publik menilai ada aktor-aktor pasar yang bermain. "Harga cabai bisa naik 100 persen dalam sepekan. Ini tak masuk akal jika hanya disebabkan cuaca," ujar Faisal Basri, ekonom senior.
Petani Tidak Selalu Diuntungkan
Banyak yang mengira, saat harga pangan naik, petani akan diuntungkan. Kenyataannya, tak selalu demikian. Petani, terutama skala kecil, sering kali menjual hasil panen ke tengkulak dengan harga yang jauh di bawah harga pasar. Ketika harga naik di pasaran, petani justru sudah tak lagi memegang barang.
Tengkulak dan Distributor: Pemain Tengah yang Diuntungkan
Kenaikan harga justru paling menguntungkan para tengkulak dan distributor besar. Mereka memiliki kapasitas penyimpanan, jaringan distribusi, dan daya tawar untuk menentukan harga. Dalam beberapa kasus, mereka menimbun barang agar pasokan menipis, lalu menjual dengan harga tinggi saat permintaan meningkat.
Pedagang Pasar: Terjepit di Tengah
Pedagang di pasar tradisional juga tak selalu menikmati keuntungan. Mereka terjepit antara harga beli dari distributor yang tinggi dan daya beli masyarakat yang melemah. Jika harga terlalu mahal, barang tidak laku. Jika dijual terlalu murah, mereka merugi.
"Kami sering bingung mau ambil dari mana. Modal naik, tapi pembeli mengeluh terus. Kadang kami sampai nombok," keluh Yati, pedagang sayur di Pasar Senen, Jakarta.
Pemerintah dan Politik Harga
Kebijakan pangan di Indonesia sering kali bersifat reaktif. Intervensi pemerintah berupa operasi pasar atau bansos sembako memang membantu sesaat, namun tidak menyelesaikan akar persoalan. Harga beras yang dikendalikan Bulog pun sering kali tidak sinkron dengan harga di lapangan.
Subsidi dan Impor: Solusi Sementara yang Merugikan Petani
Langkah pemerintah mengimpor beras atau komoditas lain saat harga naik sering dianggap solusi instan. Namun, ini kerap merugikan petani lokal. Saat panen raya, harga jatuh karena banjir pasokan impor. Petani merugi, dan ini membuat mereka enggan menanam kembali.
"Harga naik sedikit, pemerintah impor. Harga turun, kita disuruh bersabar. Sampai kapan?" ujar Sarman, petani di Indramayu.
Daya Beli Masyarakat Tergerus
Dampak paling besar tentu dirasakan masyarakat. Kenaikan harga pangan langsung menghantam kantong rumah tangga. Bagi kelas menengah ke bawah, pengeluaran untuk makanan bisa mencapai 40-50 persen dari total pendapatan. Kenaikan harga 10-20 persen saja sudah sangat membebani.
Urban Poor dan Ancaman Malnutrisi
Kelompok urban poor atau masyarakat miskin kota adalah kelompok paling rentan. Mereka bergantung pada harga pasar dan tidak memiliki cadangan pangan. Ketika harga naik, yang dikorbankan adalah kualitas konsumsi. Sayuran, daging, dan protein hewani mulai hilang dari piring makan.
Studi dari Bank Dunia menyebutkan bahwa kenaikan harga pangan sebesar 10 persen bisa mendorong 1,3 juta orang Indonesia kembali ke bawah garis kemiskinan. Angka yang mencemaskan.
Solusi Jangka Panjang: Reformasi Rantai Distribusi dan Kebijakan Pangan Nasional
Untuk menjawab masalah ini, diperlukan pendekatan jangka panjang. Reformasi rantai distribusi harus menjadi prioritas. Pemerintah harus memotong mata rantai tengkulak dan memperkuat posisi petani dalam sistem distribusi pangan.
Peran Teknologi dan Koperasi
Teknologi bisa menjadi alat pemutus dominasi tengkulak. Platform digital yang menghubungkan petani langsung ke konsumen, koperasi modern, dan integrasi logistik berbasis data dapat menekan harga dan meningkatkan margin petani.
Namun semua ini perlu dukungan regulasi dan insentif. Tanpa keberpihakan nyata dari negara, petani akan terus kalah oleh para pemain besar.
Kedaulatan Pangan sebagai Pilar
Kenaikan harga pangan menunjukkan bahwa Indonesia belum benar-benar berdaulat secara pangan. Ketergantungan pada impor, lemahnya sistem distribusi, dan absennya perlindungan terhadap produsen pangan lokal menjadi cermin rapuhnya sistem ini.
Maka, sudah waktunya kebijakan pangan tidak hanya dilihat dari sisi stabilisasi harga, tapi juga dari keadilan dan keberlanjutan. Pangan bukan sekadar komoditas, tapi hak dasar rakyat.
Penutup: Siapa Sebenarnya yang Membayar Harga?
Di tengah gempuran inflasi pangan, kita perlu bertanya ulang: siapa yang menanggung beban paling besar? Dan siapa yang meraup untung diam-diam? Jika sistem ini terus dibiarkan, maka yang buntung bukan hanya petani dan konsumen kecil, tapi juga masa depan kedaulatan pangan kita.
Krisis ini bukan sekadar angka di indeks harga konsumen. Ia adalah kisah nyata tentang ketimpangan, tentang perut-perut yang mulai lapar, dan tentang harapan petani yang kian meredup.

