Fenomena sketsa urban tak lagi sekadar tren musiman. Di berbagai kota besar Indonesia, komunitas penggambar langsung dari realita kota ini terus berkembang, memperlihatkan gairah baru dalam dunia seni rupa kontemporer. Para pegiatnya datang dari berbagai latar belakang: arsitek, seniman, pelajar, hingga pekerja kantoran yang menjadikan aktivitas menggambar lanskap kota sebagai bentuk ekspresi sekaligus relaksasi.
Dari Taman Kota hingga Gang Sempit
Komunitas sketsa urban lazimnya berkumpul di akhir pekan. Taman kota, stasiun, pasar tradisional, hingga sudut gang sempit menjadi titik-titik favorit. Mereka duduk beralaskan tikar atau bangku lipat kecil, membuka buku sketsa dan mulai menangkap suasana dengan pulpen, pensil, atau cat air.
"Saya suka menggambar di Pasar Baru karena suasananya hidup dan penuh warna," ujar Rafi, mahasiswa arsitektur yang rutin ikut sketchwalk setiap Sabtu. "Ada dinamika yang tidak bisa saya dapatkan dari foto atau gambar digital."
Sketsa urban tidak berusaha mengejar kesempurnaan visual seperti dalam karya lukisan realistis. Justru ketidaksempurnaan dan spontanitas menjadi daya tariknya. Guratan cepat, pewarnaan yang tak rata, hingga coretan kecil yang memperlihatkan proses, memberi kesan personal dan otentik.
Merekam Kota, Merekat Komunitas
Lebih dari sekadar praktik menggambar, komunitas sketsa urban berperan sebagai ruang sosial. Di dalamnya, orang-orang yang mungkin tak pernah bertemu dalam kehidupan sehari-hari bisa saling terhubung karena satu minat yang sama.
"Kami bukan sekadar menggambar, tapi juga berbagi cerita, berdiskusi soal teknik, dan saling menginspirasi," kata Intan, salah satu penggagas komunitas Urban Sketchers Bandung. "Setiap sketsa punya cerita. Setiap gambar adalah dialog antara mata, tangan, dan kota."
Komunitas ini biasanya menggunakan media sosial seperti Instagram dan WhatsApp untuk mengatur pertemuan, berbagi hasil karya, dan menjaring anggota baru. Beberapa bahkan punya kanal YouTube untuk mendokumentasikan kegiatan mereka.
Dari Kertas ke Galeri
Beberapa komunitas kini melangkah lebih jauh dengan menggelar pameran bersama. Sketsa yang semula hanya tertuang di buku gambar pribadi, kini menghiasi dinding galeri. Beberapa karya dijual, lainnya menjadi bagian dari buku antologi atau produk merchandise seperti tote bag dan poster.
"Ini menunjukkan bahwa sketsa urban tidak kalah bernilai dengan karya seni lainnya," ujar Aditya, kurator seni rupa yang pernah terlibat dalam pameran Urban Lines di Yogyakarta. "Ada kejujuran dalam setiap guratan yang lahir dari interaksi langsung dengan ruang kota."
Banyak seniman yang memulai karier profesional dari aktivitas ini. Seiring berkembangnya teknologi, beberapa dari mereka juga menjajaki transisi ke sketsa digital menggunakan tablet dan stylus. Namun, coretan di atas kertas tetap memiliki tempat khusus.
Mendokumentasikan Perubahan Kota
Sketsa urban bukan hanya ekspresi seni, tapi juga cara mendokumentasikan sejarah kota. Dalam era pembangunan cepat yang mengubah wajah kota secara drastis, sketsa menjadi semacam arsip visual alternatif.
"Beberapa tempat yang saya gambar tiga tahun lalu sekarang sudah rata dengan tanah," ungkap Reza, anggota komunitas sketsa urban di Surabaya. "Gambar saya jadi satu-satunya kenangan yang tersisa dari tempat itu."
Dalam hal ini, komunitas sketsa urban memainkan peran penting dalam pelestarian budaya visual. Mereka merekam detail-detail yang sering luput dari dokumentasi resmi: kios tua di pojokan gang, pohon rindang yang mengarsir jalan, hingga ekspresi wajah pedagang kaki lima.
Tantangan dan Harapan
Meskipun berkembang, komunitas ini juga menghadapi tantangan. Perizinan di ruang publik kadang menjadi kendala. Ada pula stigma dari orang sekitar yang belum memahami aktivitas mereka.
"Pernah digusur satpam karena dikira dagang atau ngamen," ujar Fina sambil tertawa. "Padahal cuma duduk menggambar."
Namun, semangat untuk tetap berkarya di ruang terbuka tidak padam. Beberapa komunitas kini mulai bekerja sama dengan pemerintah kota atau pengelola kawasan untuk mengadakan kegiatan yang lebih formal dan terorganisir. Festival sketsa pun mulai digelar di berbagai kota sebagai ajang pameran sekaligus edukasi publik.
Sketsa Urban, Gaya Hidup Baru
Seiring meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap kesehatan mental dan keseimbangan hidup, aktivitas seperti sketsa urban menemukan momentumnya. Ia menawarkan kombinasi antara mindfulness, kreativitas, dan interaksi sosial.
"Menggambar kota membuat saya lebih peka terhadap lingkungan sekitar," kata Rania, pegawai startup yang baru bergabung dengan komunitas tahun lalu. "Saya jadi lebih menghargai arsitektur lama, suasana pasar, bahkan kabel-kabel semrawut pun terasa estetis."
Sketsa urban mengajarkan kita untuk memperlambat langkah di tengah ritme kota yang cepat. Ia membuka mata kita pada detail, mengajak kita hadir seutuhnya, dan pada akhirnya, menghubungkan kita dengan ruang yang kita tempati.
Sketsa urban bukan sekadar hobi menggambar. Ia telah menjadi medium ekspresi yang hidup, tumbuh dalam komunitas, dan memiliki dampak sosial serta budaya yang nyata. Di tengah kehidupan kota yang terus bergerak, sketsa urban hadir sebagai pengingat akan pentingnya memperhatikan, merekam, dan mencintai ruang sekitar. Tak heran, komunitasnya semakin bergeliat — dari sudut jalan hingga dinding galeri.

