Korupsi di daerah ibarat luka lama yang terus dibiarkan menganga. Sejak era reformasi digulirkan dengan semangat pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), harapan publik begitu tinggi bahwa praktik lancung itu akan berakhir. Namun kenyataannya, dari tahun ke tahun, daftar kepala daerah yang terjerat kasus korupsi tak kunjung surut. Mulai dari suap proyek, mark-up anggaran, hingga jual beli jabatan, semua menjadi potret buram birokrasi di level lokal.
Gelombang Kepala Daerah Terseret KPK
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencatat lebih dari 300 kepala daerah telah dijerat kasus korupsi sejak lembaga ini berdiri pada 2003. Ironisnya, banyak dari mereka merupakan tokoh yang dulu dielu-elukan sebagai harapan baru dalam politik lokal. Fenomena ini menjadi paradoks: desentralisasi yang bertujuan mendekatkan kekuasaan kepada rakyat justru membuka peluang korupsi yang lebih tersebar.
Kepala daerah kini memiliki kendali besar atas anggaran dan kebijakan. Sayangnya, kontrol publik dan mekanisme checks and balances di daerah belum cukup kuat untuk mengawasi. Hal ini membuka celah besar bagi penyalahgunaan wewenang, terutama dalam proyek-proyek infrastruktur dan pengadaan barang dan jasa.
Sistem Politik yang Mahal dan Transaksional
Salah satu akar masalah dari maraknya korupsi di daerah adalah biaya politik yang sangat tinggi. Untuk memenangkan pilkada, calon kepala daerah harus mengeluarkan dana besar, baik untuk kampanye resmi maupun 'biaya siluman' seperti mahar politik kepada partai atau serangan fajar. Setelah terpilih, mereka didorong untuk “balik modal” melalui praktik koruptif.
Politik transaksional ini menciptakan lingkaran setan. Para pengusaha yang membiayai kampanye akan meminta imbalan berupa proyek atau izin usaha. Sementara itu, birokrasi di daerah dijadikan alat untuk mengamankan kepentingan politik kepala daerah, bukan sebagai pelayan publik yang profesional.
Lemahnya Pengawasan dan Partisipasi Publik
Masalah lainnya adalah minimnya partisipasi warga dalam proses pengawasan anggaran dan kebijakan publik. Banyak warga yang apatis atau tidak memiliki akses informasi yang cukup untuk ikut mengawasi jalannya pemerintahan daerah. Padahal, transparansi dan keterlibatan masyarakat merupakan kunci utama dalam membangun tata kelola yang bersih.
Lembaga pengawas seperti Inspektorat Daerah seringkali tak independen dan cenderung melindungi atasan mereka. Di sisi lain, DPRD yang seharusnya menjadi mitra pengawasan sering terlibat kongkalikong dalam praktik korupsi. Alih-alih mengawasi, mereka justru ikut menikmati kue anggaran.
Digitalisasi Belum Menjawab Akar Masalah
Beberapa daerah mencoba membenahi tata kelola dengan sistem digital, seperti e-budgeting atau e-procurement. Namun digitalisasi belum tentu menyelesaikan masalah jika niat untuk korupsi tetap ada. Teknologi hanyalah alat, bukan jaminan integritas.
Kasus-kasus terbaru justru menunjukkan bagaimana teknologi bisa dimanipulasi. Bahkan, di sejumlah daerah, kepala daerah tetap bisa mengatur siapa pemenang tender proyek dengan cara yang terselubung meski sistemnya sudah daring.
KPK dan Tantangan Pemberantasan Korupsi Lokal
Pelemahan KPK pasca-revisi UU KPK pada 2019 turut memperburuk situasi. Operasi tangkap tangan (OTT) terhadap kepala daerah yang dulunya gencar, kini terlihat melambat. Sementara itu, penindakan oleh kejaksaan dan kepolisian masih belum konsisten dan sering tersandung konflik kepentingan.
Tanpa lembaga penegak hukum yang kuat dan independen, praktik korupsi akan terus merajalela di daerah. Apalagi, dalam beberapa kasus, elite pusat cenderung membiarkan praktik korupsi di daerah selama tidak mengganggu stabilitas politik nasional.
Jalan Keluar: Reformasi Politik Lokal yang Serius
Mengobati penyakit korupsi di daerah tidak bisa hanya mengandalkan penindakan. Perlu reformasi menyeluruh dalam sistem politik lokal. Mulai dari transparansi dana kampanye, penataan birokrasi, penguatan lembaga pengawas, hingga pendidikan politik masyarakat.
Perlu juga mendorong pemimpin daerah yang benar-benar memiliki integritas dan visi jangka panjang, bukan hanya berorientasi pada kekuasaan sesaat. Partai politik harus berani mengusung calon bersih dan tidak sekadar mencari kandidat dengan dana besar.
Pemerintah pusat pun harus memberikan insentif bagi daerah yang berhasil menunjukkan kinerja antikorupsi, serta tegas terhadap daerah yang gagal menjaga integritas.
Penutup: Harapan yang Tak Boleh Padam
Korupsi di daerah memang masih menjadi penyakit lama yang belum sembuh. Namun bukan berarti tak bisa disembuhkan. Selama ada tekanan publik, pengawasan media, dan dorongan dari masyarakat sipil, peluang perbaikan tetap terbuka.
Tugas kita bukan hanya mencatat siapa yang korup, tapi juga memastikan sistem yang memungkinkan korupsi itu dibongkar habis. Demokrasi lokal yang sehat harus dimulai dari pemimpin yang bersih dan partisipasi rakyat yang aktif. Korupsi tidak akan berhenti jika kita hanya menonton dari jauh.

