Banjir yang kian rutin, musim kemarau yang memanjang, suhu udara yang makin ekstrem—semuanya bukan lagi ramalan, melainkan kenyataan sehari-hari. Krisis iklim kini berada di depan mata. Namun ironisnya, respons terhadap situasi ini masih jauh dari kata memadai. Pemerintah sering terlihat lambat, sementara publik tampak terbelah antara kepedulian dan ketidakpedulian. Lalu, mengapa kita masih abai di tengah darurat yang nyata ini?
Bukti Krisis Iklim Makin Jelas
Perubahan Iklim Bukan Isapan Jempol
Laporan Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) telah berulang kali menegaskan bahwa aktivitas manusia adalah penyebab utama pemanasan global. Pembakaran bahan bakar fosil, deforestasi, dan pertanian skala besar melepaskan emisi gas rumah kaca dalam jumlah besar ke atmosfer. Akibatnya, suhu bumi naik, mencairkan es kutub, menaikkan permukaan laut, dan memicu cuaca ekstrem.
Dampaknya Sudah Terasa
Indonesia, sebagai negara kepulauan tropis, tergolong sangat rentan terhadap krisis iklim. Banjir bandang di Kalimantan, kekeringan di Nusa Tenggara, hingga abrasi pantai di pesisir utara Jawa bukan kejadian acak, melainkan pola yang semakin konsisten. Ketahanan pangan pun terancam karena gagal panen yang makin sering terjadi akibat cuaca yang tidak menentu.
Mengapa Reaksi Kita Masih Lemah?
Krisis yang Tak Terlihat
Berbeda dengan bencana alam yang datang tiba-tiba, krisis iklim bekerja secara perlahan namun pasti. Ini menciptakan ilusi bahwa dampaknya masih jauh dan belum terlalu mendesak. Padahal, justru karena sifatnya yang progresif, krisis ini bisa menjadi lebih berbahaya jika tidak ditangani sedini mungkin.
Ekonomi vs Ekologi
Banyak kebijakan pembangunan masih mengedepankan pertumbuhan ekonomi dengan mengorbankan aspek lingkungan. Proyek infrastruktur besar, perluasan industri ekstraktif, dan konversi lahan untuk perkebunan skala besar terus terjadi. Keseimbangan antara kebutuhan ekonomi dan kelestarian lingkungan belum tercapai.
Minimnya Edukasi dan Literasi Iklim
Kesadaran publik terhadap isu iklim masih rendah. Dalam banyak kasus, perubahan iklim dianggap sebagai isu elitis atau terlalu teknis. Padahal, setiap lapisan masyarakat akan terdampak, terutama kelompok rentan seperti petani, nelayan, dan masyarakat adat.
Siapa yang Bertanggung Jawab?
Pemerintah dan Regulasi Lemah
Regulasi lingkungan di Indonesia masih sering kalah oleh kepentingan ekonomi-politik. Meski telah ada komitmen pengurangan emisi melalui Perjanjian Paris dan NDC (Nationally Determined Contributions), implementasinya seringkali tidak sejalan dengan kenyataan di lapangan. Penegakan hukum lingkungan pun lemah, ditambah dengan maraknya konflik kepentingan antara pejabat dan pelaku industri.
Peran Korporasi
Industri energi, pertambangan, dan perkebunan memiliki jejak karbon yang besar. Namun, sebagian besar korporasi besar belum menunjukkan komitmen serius terhadap keberlanjutan. Program CSR yang sering dikampanyekan kerap hanya menjadi alat pencitraan tanpa dampak nyata bagi lingkungan.
Masyarakat Sipil yang Terpecah
Gerakan lingkungan menghadapi tantangan besar: pembungkaman suara kritis, kriminalisasi aktivis, hingga perpecahan dalam strategi gerakan. Sementara itu, masyarakat umum masih terjebak dalam gaya hidup konsumtif yang tidak ramah lingkungan.
Apa yang Bisa Dilakukan?
Menguatkan Regulasi dan Penegakan Hukum
Pemerintah harus memperkuat kebijakan lingkungan yang berpihak pada kelestarian alam. Penegakan hukum terhadap pelanggaran lingkungan perlu diperketat, termasuk memberikan sanksi tegas kepada korporasi yang merusak alam.
Pendidikan Iklim Sejak Dini
Isu perubahan iklim perlu masuk ke dalam kurikulum pendidikan sejak tingkat dasar. Literasi iklim akan mendorong generasi muda untuk lebih sadar dan proaktif menjaga lingkungan.
Mendorong Transisi Energi
Investasi besar dalam energi terbarukan seperti tenaga surya dan angin harus dipercepat. Subsidi untuk energi fosil perlu dialihkan untuk mendukung teknologi bersih yang lebih berkelanjutan.
Konsumsi yang Lebih Bertanggung Jawab
Setiap individu dapat berperan melalui pilihan konsumsi yang sadar lingkungan—mengurangi penggunaan plastik sekali pakai, lebih memilih produk lokal, hingga mendukung bisnis berkelanjutan.
Haruskah Menunggu Lebih Banyak Bencana?
Krisis Ini Tidak Akan Menunggu Kita Siap
Perubahan iklim bukan fenomena yang bisa kita tunda hadapinya. Bencana demi bencana akan terus datang, dengan intensitas yang makin parah. Jika kita tidak mulai berubah hari ini, maka masa depan yang aman dan layak huni akan menjadi kemewahan yang tak bisa kita miliki.
Saatnya Bertindak Bersama
Solusi krisis iklim bukan tanggung jawab satu pihak saja. Ini adalah momen kolektif, di mana semua elemen—pemerintah, masyarakat sipil, dunia usaha, dan individu—harus bersatu. Jika tidak sekarang, kapan lagi?
Artikel ini disusun untuk membangkitkan kesadaran dan mendorong tindakan nyata terhadap krisis iklim yang terus memburuk.

