Review mendalam agar tidak salah beli
Dapatkan rekomendasi produk shopee.

Mengulik Sistem Zonasi: Solusi atau Masalah Baru di Dunia Pendidikan?

Mei 08, 2025
Mengulik Sistem Zonasi Solusi atau Masalah Baru di Dunia Pendidikan

Sejak pertama kali diterapkan pada 2017, sistem zonasi dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) di Indonesia menuai berbagai respons. Tujuan utamanya jelas: menghapus diskriminasi berbasis nilai, mendekatkan siswa dengan sekolah, serta meratakan akses pendidikan. Namun, dalam implementasinya, kebijakan ini justru kerap menimbulkan polemik. Apakah sistem zonasi benar-benar solusi pemerataan pendidikan, atau malah melahirkan masalah baru?

Asal Mula dan Tujuan Zonasi

Sistem zonasi diinisiasi oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebagai bagian dari upaya reformasi pendidikan. Sebelumnya, akses ke sekolah favorit cenderung didominasi siswa dengan nilai akademis tinggi, seringkali dari latar belakang sosial ekonomi menengah ke atas. Dampaknya, terjadi konsentrasi kualitas hanya di sekolah tertentu, meninggalkan sekolah lain dalam kondisi timpang.

Dengan zonasi, pemerintah ingin memastikan setiap anak mendapatkan akses pendidikan yang merata berdasarkan jarak tempat tinggal, bukan prestasi semata. Dalam teori, ini adalah langkah progresif yang berorientasi pada keadilan sosial.

Implementasi di Lapangan: Tak Semudah Teori

Namun, saat diterapkan, sistem ini menghadapi berbagai kendala. Banyak orang tua mengeluh anaknya tidak bisa masuk sekolah berkualitas karena kalah zonasi, meski nilai akademiknya tergolong tinggi. Di sisi lain, sekolah yang dulunya "tidak diminati" tiba-tiba harus menampung lonjakan siswa tanpa peningkatan sarana dan prasarana memadai.

Di beberapa kota besar, fenomena pindah domisili fiktif menjadi praktik umum. Banyak keluarga yang menyewa rumah dekat sekolah tertentu hanya untuk lolos zonasi. Ini mengaburkan esensi dari pemerataan akses dan malah melanggengkan ketimpangan sosial.

Ketimpangan Kualitas Sekolah: Masalah Inti

Permasalahan yang mendasari resistensi terhadap zonasi sebenarnya adalah ketimpangan kualitas antar sekolah. Orang tua tetap ingin menyekolahkan anaknya di sekolah "unggulan" karena merasa kualitas guru, fasilitas, hingga kultur akademik lebih baik. Selama belum ada pemerataan kualitas ini, zonasi hanya akan menjadi penyesuaian administratif, bukan solusi esensial.

Guru dan Fasilitas yang Tidak Merata

Distribusi guru berkualitas masih jadi masalah besar. Sekolah-sekolah di pinggiran kota atau daerah tertinggal sering kekurangan guru bersertifikasi. Demikian pula dengan laboratorium, perpustakaan, hingga akses internet yang belum merata.

Hal ini membuat sekolah yang secara zonasi menjadi alternatif justru tak mampu menjawab ekspektasi masyarakat. Ketika kualitas pendidikan dianggap kalah jauh, orang tua pun enggan "menerima nasib" hanya karena rumah mereka berada di zona tersebut.

Perspektif Sosiologis: Zona sebagai Cermin Ketimpangan Sosial

Dalam kajian sosiologi pendidikan, sistem zonasi sebenarnya memperlihatkan bagaimana ruang sosial masyarakat mempengaruhi akses terhadap layanan publik. Ketika kawasan elite memiliki sekolah unggulan, maka sistem zonasi justru menguatkan eksklusi sosial terhadap warga di luar zona tersebut.

Artinya, sistem zonasi yang tak disertai pemerataan pembangunan infrastruktur pendidikan justru menimbulkan segregasi baru. Anak dari keluarga menengah bawah akan cenderung masuk sekolah berkualitas rendah hanya karena keterbatasan geografis, bukan potensi akademik.

Upaya Pemerintah dan Harapan Masyarakat

Kementerian Pendidikan telah melakukan beberapa penyesuaian terhadap kebijakan ini, termasuk memberikan kuota prestasi dan afirmasi. Namun, hal ini belum menyentuh akar persoalan: ketimpangan kualitas antar sekolah.

Program seperti zonasi guru, penguatan pendidikan karakter, hingga bantuan operasional sekolah diarahkan untuk mengisi celah ketimpangan ini. Meski demikian, perubahan butuh waktu dan komitmen lintas sektor.

Masyarakat berharap sistem zonasi tidak sekadar menjadi "aturan masuk sekolah" tahunan, melainkan bagian dari ekosistem pembenahan pendidikan secara menyeluruh. Pemerintah harus serius dalam meningkatkan mutu sekolah non-favorit agar publik percaya dengan sistem zonasi.

Mengembalikan Kepercayaan Publik

Tanpa kepercayaan masyarakat, kebijakan sebaik apa pun akan sulit diterima. Transparansi dalam proses PPDB, evaluasi tahunan berbasis data, serta partisipasi publik dalam perencanaan zonasi menjadi langkah penting untuk menjaga legitimasi sistem ini.

Di sisi lain, media dan akademisi harus terus melakukan pengawasan dan kajian kritis. Sistem zonasi bukan kebijakan sekali jalan, melainkan proses dinamis yang menuntut evaluasi terus-menerus.

Kesimpulan: Zonasi, Butuh Revisi atau Komitmen?

Sistem zonasi lahir dari semangat pemerataan, namun dalam praktiknya masih jauh dari sempurna. Masalah utamanya bukan pada zonasi itu sendiri, melainkan kesiapan sistem pendidikan kita untuk menerapkannya secara adil dan merata.

Diperlukan komitmen jangka panjang dari pemerintah pusat dan daerah untuk membenahi kualitas sekolah secara menyeluruh. Tanpa itu, sistem zonasi akan terus menuai resistensi dan dianggap sebagai kebijakan diskriminatif terselubung.

Jika reformasi pendidikan ingin berjalan serius, maka zonasi harus dikawal, dievaluasi, dan diperbaiki terus-menerus. Karena pada akhirnya, kualitas pendidikan bukan soal lokasi, tapi kesetaraan peluang bagi semua anak bangsa.

Terkait