Matahari pagi perlahan menembus rimbunnya kanopi hutan hujan tropis di Kalimantan. Udara lembap, tanah berlumpur, dan suara rimba yang tak henti menjadi latar bagi perjalanan ini. Di jantung pulau terbesar ketiga di dunia ini, saya dan tim peneliti lokal menyusuri jalur kecil yang hanya bisa dilalui dengan berjalan kaki. Tujuan kami: bertemu orangutan liar di habitat aslinya—sebuah pengalaman langka yang tak mudah dilupakan.
Hutan Hujan Kalimantan: Rumah Terakhir Orangutan
Kalimantan, bagian dari pulau Borneo yang dimiliki Indonesia, Malaysia, dan Brunei, menyimpan salah satu hutan hujan tropis tertua di dunia. Kawasan ini adalah habitat penting bagi orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus), spesies yang kini berstatus sangat terancam punah menurut IUCN.
Orangutan—yang berarti "orang hutan" dalam bahasa Melayu—memiliki peran vital dalam menjaga keseimbangan ekosistem. Mereka membantu penyebaran biji tanaman dan menjaga struktur hutan. Namun, rumah mereka kian tergerus. Alih fungsi lahan untuk perkebunan kelapa sawit, penebangan liar, dan kebakaran hutan menjadi ancaman nyata.
Pertemuan Tak Terlupakan di Kanopi Hutan
Setelah berjalan lebih dari dua jam menembus semak dan akar pohon yang menjalar, suara dahan patah di atas kami membuat langkah terhenti. Di ketinggian sekitar 15 meter, seekor orangutan betina menggantung santai di antara dua pohon besar. Ia menatap kami sebentar, lalu melanjutkan perjalanan di atas kanopi, seolah memahami bahwa kami hanya tamu yang lewat.
Di kejauhan, suara bayi orangutan memecah kesunyian. Seekor induk tampak menggendong anaknya sambil mengunyah buah hutan. Momen ini, meskipun hanya beberapa menit, terasa seperti dialog sunyi antara manusia dan alam. Tidak ada pagar pembatas, tidak ada pawang—hanya pertemuan yang murni dan liar.
Ekowisata dan Etika Pengamatan Satwa Liar
Meningkatnya minat wisatawan untuk menyaksikan orangutan secara langsung menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, ini membuka peluang ekonomi bagi masyarakat lokal dan mendukung konservasi. Namun, jika tidak dikelola dengan etika dan ketat, ekowisata justru bisa mengganggu satwa dan merusak habitatnya.
Menurut Yayasan Borneo Orangutan Survival (BOS), pengunjung idealnya harus menjaga jarak minimal 10 meter, tidak memberi makan, dan menghindari suara keras atau kilatan kamera. Tujuannya bukan hanya untuk kenyamanan orangutan, tetapi juga mencegah penularan penyakit dari manusia.
Upaya Konservasi yang Terus Berjalan
Berbagai organisasi lokal dan internasional bekerja keras menjaga kelestarian orangutan dan habitatnya. Program rehabilitasi dilakukan bagi orangutan yang sebelumnya dipelihara secara ilegal atau kehilangan induknya akibat perburuan.
Salah satu pusat rehabilitasi terbesar terletak di Nyaru Menteng, Kalimantan Tengah. Di sana, ratusan orangutan belajar kembali hidup di alam liar melalui tahapan seperti sekolah hutan, pengenalan pakan alami, hingga pelepasliaran.
Peran Masyarakat dan Tantangan Masa Depan
Konservasi tak bisa berdiri sendiri. Peran masyarakat adat yang tinggal di sekitar hutan menjadi kunci. Mereka mengenal rimba seperti mengenal rumahnya sendiri. Melalui kolaborasi, kini banyak desa di Kalimantan yang menjadi bagian dari ekowisata berbasis komunitas.
Namun, tantangan tetap besar. Perambahan hutan dan perubahan iklim terus mengancam. Kebakaran hutan pada musim kemarau bisa melahap ratusan hektare dalam hitungan hari, memaksa orangutan berpindah tempat dan meningkatkan konflik dengan manusia.
Menjaga Harapan di Tengah Rimba
Perjalanan menyusuri hutan Kalimantan dan bertemu orangutan liar bukan sekadar pengalaman wisata. Ini adalah pengingat bahwa di tengah gemuruh pembangunan, masih ada ruang untuk alam berbicara. Dan tugas kita, sebagai manusia, adalah mendengar.
Melindungi orangutan berarti menjaga hutan. Menjaga hutan berarti menjaga bumi. Karena di antara desir angin dan jeritan owa, hutan Kalimantan masih menyimpan harapan bagi generasi mendatang.

