Puasa sunnah sering dipraktikkan sebagai bentuk ibadah tambahan yang berpahala besar. Namun di balik rutinitas itu, muncul pertanyaan mendasar: apakah kita melakukannya sebagai bentuk kesadaran spiritual atau sekadar kebiasaan yang diwariskan? Di tengah zaman yang menstandarkan hampir semua aspek ibadah, penting untuk kembali memaknai hakikat puasa sunnah sebagai bentuk penghambaan yang penuh keikhlasan.
Puasa Sunnah: Ibadah yang Tidak Wajib, Tapi Bernilai Tinggi
Antara Fadhilah dan Rutinitas
Dalam Islam, puasa sunnah mencakup berbagai bentuk seperti puasa Senin-Kamis, puasa Ayyamul Bidh (13, 14, 15 tiap bulan hijriyah), puasa Syawal, hingga puasa Arafah dan Asyura. Semuanya dijanjikan pahala besar, bahkan beberapa disandingkan dengan ampunan dosa dan pahala puasa setahun penuh.
Namun tak jarang, praktik ini berubah menjadi rutinitas yang dilakukan tanpa kesadaran penuh. Dalam masyarakat urban, puasa sunnah bahkan mulai menjadi "tren" spiritual, terutama di kalangan generasi muda yang sedang meniti jalan hijrah. Tidak salah, namun perlu refleksi: apakah niatnya masih murni?
Ibadah Tanpa Pamrih
Keutamaan puasa sunnah bukan hanya pada pelaksanaannya, tapi pada niat di baliknya. Dalam hadis disebutkan bahwa amal itu tergantung niatnya. Artinya, puasa sunnah yang dikerjakan semata karena Allah memiliki derajat spiritual yang lebih tinggi daripada yang dilakukan karena tekanan sosial atau pencitraan.
Keikhlasan: Inti dari Setiap Ibadah
Tersamar tapi Terasa
Keikhlasan adalah kualitas yang tidak terlihat, namun dampaknya terasa dalam laku hidup. Orang yang beribadah secara ikhlas biasanya lebih tenang, tidak mudah menghakimi, dan tidak mencari validasi. Dalam konteks puasa sunnah, orang yang ikhlas tidak akan mengumumkan puasanya, bahkan cenderung menyembunyikannya kecuali jika diperlukan.
Namun di era media sosial, praktik keagamaan mudah terekspos. Kita dihadapkan pada dilema antara berbagi inspirasi dan mempertontonkan ibadah. Di sinilah ujian keikhlasan menjadi sangat nyata. Puasa, yang sejatinya tersembunyi dari pandangan manusia, menjadi rentan tercampur dengan ego dan ekspektasi sosial.
Menjaga Ibadah dari Kepalsuan
Dalam Islam, riya (pamer ibadah) merupakan dosa hati yang merusak amal. Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menyebut riya sebagai penyakit yang halus, bahkan orang alim pun bisa terperangkap di dalamnya. Oleh karena itu, introspeksi menjadi penting saat menjalani ibadah sunnah.
Seseorang bisa saja puasa Senin-Kamis rutin setiap minggu, namun jika motivasinya bukan karena Allah, maka nilainya bisa luntur. Justru mereka yang berpuasa diam-diam dan tetap produktif serta rendah hati adalah contoh keikhlasan yang hakiki.
Spiritualitas di Tengah Budaya Standar Ibadah
Ketika Ibadah Menjadi Tren
Fenomena tren ibadah bukan hal baru. Dalam banyak komunitas hijrah, terdapat dorongan kolektif untuk menjalankan amalan tertentu. Di satu sisi ini baik karena menciptakan ekosistem positif. Namun di sisi lain, ibadah bisa menjadi formalitas, bahkan kompetisi terselubung.
Puasa sunnah sebagai bagian dari tren itu perlu dimaknai lebih dalam. Jangan sampai ia menjadi checklist yang dilakukan tanpa hati. Spiritualitas tidak lahir dari keseragaman, tapi dari kejujuran dan perenungan pribadi.
Merdeka dalam Iman
Islam tidak memaksa puasa sunnah. Justru karena tidak diwajibkan, ia menjadi ladang keikhlasan yang sesungguhnya. Mereka yang melakukannya tanpa pamrih, tanpa pengakuan, adalah orang-orang yang sedang mendaki jalan tak terlihat namun mulia.
Menjadi merdeka dalam iman artinya mampu beribadah tanpa harus dilihat. Mampu menolak ajakan puasa jika memang tubuh sedang lemah, tanpa merasa bersalah. Karena kualitas spiritual bukan diukur dari seberapa banyak ibadah, tapi seberapa tulus ia dilakukan.
Menjaga Niat, Merawat Keikhlasan
Puasa sebagai Dialog Batin
Saat menahan lapar, seseorang berhadapan langsung dengan dirinya. Inilah waktu terbaik untuk berdialog batin: mengapa aku berpuasa? Untuk siapa lapar ini? Puasa sunnah adalah ruang sunyi yang memungkinkan pertanyaan-pertanyaan eksistensial itu muncul.
Mengawali puasa dengan niat yang jujur, lalu menjalani hari dengan kesabaran, dan menutupnya dengan syukur saat berbuka—semua itu membentuk siklus spiritual yang mendalam. Bukan hanya menahan lapar, tapi juga mengasah kesadaran diri.
Tidak Banyak, Tapi Konsisten
Nabi Muhammad SAW menganjurkan amalan yang sedikit tapi konsisten. Dalam konteks puasa sunnah, ini bisa diartikan bahwa seseorang tidak harus puasa setiap Senin-Kamis, namun melakukannya dengan kesadaran utuh lebih baik daripada rutin tapi kosong.
Satu hari puasa dengan penuh keikhlasan bisa jadi lebih berarti daripada sepuluh hari yang dilakukan karena ikut-ikutan. Kuncinya adalah menjaga niat tetap lurus.
Penutup: Ibadah yang Sunyi, Pahala yang Agung
Puasa sunnah adalah ibadah yang sunyi. Ia tidak terlihat, tidak wajib, dan tidak membutuhkan saksi. Tapi justru dalam kesunyian itulah keagungan puasa sunnah terletak. Karena hanya Allah yang tahu siapa yang benar-benar ikhlas.
Di tengah budaya yang mendorong standarisasi dan eksposur spiritualitas, puasa sunnah bisa menjadi bentuk pemberontakan sunyi. Sebuah cara untuk kembali pada nilai paling dasar dari iman: keikhlasan.
Mereka yang mampu menjaga puasa sunnah sebagai laku batin pribadi, bukan tontonan publik, sedang melangkah menuju kedewasaan spiritual yang hakiki. Mereka tidak banyak bicara soal ibadahnya—karena bagi mereka, cukup Allah yang tahu.

