Review mendalam agar tidak salah beli
Dapatkan rekomendasi produk shopee.

Sufi di Zaman Modern, Masihkah Relevan?

Mei 10, 2025
Sufi di Zaman Modern, Masihkah Relevan

Zaman telah berubah. Dunia kini dipenuhi hiruk pikuk teknologi, kecepatan informasi, dan dominasi logika ekonomi. Di tengah dunia yang rasional dan kerap kali materialistik ini, ajaran Sufi yang menekankan kesunyian, kedalaman jiwa, dan cinta Ilahi terdengar seperti suara dari masa lalu. Namun benarkah jalan sunyi para Sufi telah usang dan kehilangan relevansinya?

Spiritualitas di Tengah Modernitas

Dunia yang Bergerak Cepat, Jiwa yang Tertinggal

Dalam satu hari, manusia modern mungkin bisa terhubung ke ratusan orang melalui media sosial, membaca ribuan kata, dan menyerap beragam informasi. Namun dalam kecepatan itu, jiwa kerap tercecer. Kecemasan, stres, dan alienasi menjadi gejala umum. Dalam konteks ini, ajaran Sufi justru menawarkan jalan keluar yang tak lekang oleh waktu: kembali ke dalam diri, mengosongkan ego, dan mengisi batin dengan kehadiran Tuhan.

Sufisme: Inti, Bukan Pelengkap

Dalam Islam, tasawuf bukan sekadar aksesori spiritual, melainkan dimensi terdalam dari agama. Sufi tidak hanya mengejar ritual, tetapi hakikat. Bagi mereka, ibadah bukan hanya kewajiban, tapi juga sarana penyucian jiwa. Di sinilah relevansi Sufisme di zaman modern: ketika banyak orang mencari makna hidup yang lebih dalam daripada sekadar sukses materiil.

Nilai-Nilai Abadi dari Tradisi Sufi

1. Zuhud dan Kesederhanaan

Kapitalisme modern mendorong akumulasi harta dan citra. Sufi justru mengajarkan zuhud—sikap melepaskan keterikatan pada dunia. Ini bukan ajakan hidup miskin, tapi ajakan hidup cukup. Nilai ini penting di era konsumtif seperti sekarang, ketika manusia mudah terjebak dalam gaya hidup yang melelahkan dan tak berkesudahan.

2. Ma'rifah dan Kedalaman Spiritual

Sufi mencari ma'rifah—pengetahuan langsung tentang Tuhan melalui pengalaman batin. Di era serba rasional, pencarian batin seperti ini terasa asing, namun justru menjadi oase di tengah kekeringan makna. Banyak orang modern yang akhirnya kembali mencari “sesuatu yang hilang”, dan menemukan resonansi dalam ajaran para wali.

3. Cinta Tanpa Syarat

Konsep cinta dalam Sufisme bukan sekadar emosi, melainkan energi yang menghubungkan makhluk dengan Sang Pencipta. Para Sufi mengajarkan mahabbah (cinta Ilahi) yang tak bersyarat. Di tengah dunia yang penuh kompetisi dan perhitungan untung-rugi, nilai ini menghadirkan kehangatan dan kebijaksanaan.

Sufi Kontemporer dan Dunia Modern

Mereka yang Masih Menjaga Api

Meski dianggap kuno oleh sebagian, ajaran Sufi masih dijalankan oleh banyak tokoh kontemporer. Dari Syekh Nazim Haqqani hingga Habib Umar bin Hafidz, dari Jalaluddin Rumi yang puisinya dikutip di mana-mana, hingga tarekat-tarekat yang tetap hidup di Indonesia—semua menunjukkan bahwa jalan Sufi belum mati.

Di Indonesia sendiri, tradisi Sufi sangat kuat. Walisongo mengislamkan Nusantara dengan pendekatan sufistik. Hingga kini, pesantren-pesantren tarekat seperti Qadiriyah, Naqsyabandiyah, dan Syattariyah masih eksis, meski tidak selalu muncul di panggung besar publik.

Adaptasi di Era Digital

Sufisme juga merambah dunia digital. Banyak akun media sosial kini berbagi kutipan Rumi, Ibn Arabi, atau Imam Al-Ghazali. Podcast spiritual, komunitas dzikir daring, hingga ceramah tasawuf di YouTube menjadi bukti bahwa ajaran Sufi sedang mengalami kebangkitan dalam wujud yang baru.

Tantangan dan Kesalahpahaman

Stigma Mistis dan Tertutup

Salah satu hambatan Sufisme di zaman modern adalah stigma. Ia dianggap irasional, mistik, bahkan menyimpang. Padahal, para ulama besar seperti Imam Al-Ghazali telah menyelaraskan tasawuf dengan syariat dan akal sehat. Sufisme bukan lari dari dunia, tapi cara hadir secara utuh di dalamnya.

Komodifikasi Spiritualitas

Di sisi lain, Sufisme juga berisiko dijadikan komoditas. Kutipan Rumi dicetak di kaus dan mug, namun pesan sejatinya tak dipahami. Fenomena spiritualitas instan ini bisa menjauhkan Sufisme dari substansinya sebagai jalan panjang yang menuntut kesungguhan.

Sufi dan Kebutuhan Zaman

Jawaban atas Krisis Makna

Di era yang mengalami krisis eksistensial, Sufisme memberikan arah. Ia mengajarkan bahwa hidup bukan sekadar mengejar target, tapi perjalanan menuju Tuhan. Dalam kesunyian dzikir, seseorang bisa menemukan kedamaian yang tak ditawarkan oleh pencapaian duniawi.

Menyembuhkan Jiwa yang Letih

Terapi modern belum tentu menyentuh luka-luka batin terdalam. Banyak orang yang akhirnya sembuh bukan lewat obat, tapi lewat perenungan, tangis dalam sujud, dan rasa damai yang hanya bisa dirasakan saat hati dekat dengan Tuhan. Inilah fungsi nyata dari praktik tasawuf.

Penutup: Jalan Sunyi yang Tak Pernah Mati

Sufi mungkin tak ramai. Mereka tak membuat gaduh, tak memaksa tampil. Namun ajaran mereka seperti air: mengalir pelan, tapi menghidupkan. Di zaman apa pun, manusia tetaplah makhluk spiritual. Maka selama manusia masih mencari makna, ajaran Sufi akan tetap relevan.

Jalan sunyi para pencari Tuhan ini bukanlah warisan usang, melainkan pelita yang senantiasa menyala, bahkan di tengah gelapnya dunia modern.

Terkait